JURNALISME hukum (law journalism) adalah jurnalisme yang khusus mengupas semua persoalan-persoalan yang berkaitan dengan bidang hukum. Karena masalah hukum adalah sesuatu yang sangat luas, maka cakupan jurnalisme hukum ini memang sangat luas pula: tidak sekadar perkara saling gugat menggugat antara dua pihak,
melaporkan persidangan kasus korupsi, memberitakan kasus pencemaran nama baik, melaporkan kejanggalan pengusutan hingga persidangan kasus pembalakan kayu, tapi juga mengupas tatacara pemilihan hakim agung, perdebatan dan apa yang terjadi di balik disahkannya sebuah rancangan undang-undang, masalah hukum yang muncul dari penerapan sebuah undang-undang dan sebagainya.
melaporkan persidangan kasus korupsi, memberitakan kasus pencemaran nama baik, melaporkan kejanggalan pengusutan hingga persidangan kasus pembalakan kayu, tapi juga mengupas tatacara pemilihan hakim agung, perdebatan dan apa yang terjadi di balik disahkannya sebuah rancangan undang-undang, masalah hukum yang muncul dari penerapan sebuah undang-undang dan sebagainya.
Sepanjang itu berkaitan dengan masalah hukum –atau yang bisa dijadikan persoalan hukum- itulah wilayah jurnalisme hukum. Itulah wilayah liputan seorang wartawan hukum.
Jurnalisme hukum berbeda dengan jurnalisme kriminal kendati keduanya saling kait mengait. Bisa dibilang jurnalisme hukum merupakan kelanjutan dari jurnalisme kriminal. Jika seorang polisi menangkap seorang hacker karena mengobrak-abrik dan menghancurkan situs lembaga negara, maka pemberitaan kasus ini masuk wilayah jurnalisme kriminal.
Wartawan kriminal bisa mengungkap kasus ini dengan mengutarakan bagaimana kerja dan sistim operasi komputer yang dipakai hacker untuk menjebol situs itu. Wartawan kriminal bisa mengungkapkan lika-liku hacker itu dari merancang hingga sukses memporak-porandakan situs tersebut sekaligus dampak dari kerugiannya.
Jurnalisme kriminal lebih menekankan aspek pada dugaan motif dan bagaimana kejahatan itu dilakukan. Wartawan kriminal yang handal -memiliki lobi yang kuat di kepolisian- akan lebih cepat memperoleh data pelaku dan bagaimana kejahatan itu dilakukan dari sumber di kepolisian. Sekalipun sumber resmi kepolisian, juru bicara kepolisian, misalnya, belum mengumumkannya. Ini, karena biasanya, berita kriminal memang muncul setelah ditangani polisi.
Kendati demikian, wartawan kriminal tetap tidak bisa menggantungkan isi ”cerita” berita kriminalnya hanya dari polisi. Ia harus melakukan ”reka ulang,” terjun ke lokasi kejadian, mewawancarai sumber-sumber yang mengetahui dan berkaitan dengan peristiwa itu. Keterangan polisi, yang biasanya sangat terbatas, hanya pintu masuk bagi wartawan untuk mencari sumber-sumber lain yang bisa menceritakan lebih detail –dan lengkap- dari peristiwa kriminalitas tersebut.
Karena itu, kepiawaian seorang wartawan kriminal adalah mencari dan mendapatkan narasumber yang mengetahui peristiwa itu: saksi mata. Dari narasumber inilah, yang bisa jadi juga menjadi sumber polisi, wartawan mendapat bahan tulisan bagaimana peristiwa kriminal itu terjadi. Sumber lain yang juga harus dicari adalah mereka yang mengetahui profil dan kehidupan pelaku kriminal tersebut.
Kekuatan menemukan sumber-sumber demikianlah yang membuat wartawan kriminal bisa menyajikan berita kriminalnya dengan menarik. Berita kriminal selalu mendapat perhatian karena ia merupakan ”drama kehidupan.” Ia ”potret” dari kehidupan kita. Wajah sosiologis kita. Tanpa ”dibumbui” apapun, berita kriminal selalu menarik untuk dibaca.
Wartawan kriminal juga bisa melengkapi cerita kriminalnya dengan memasukkan data-data lain yang bisa memperkuat, misalnya, kejahatan itu merupakan tren. Dalam kasus kejahatan penjebolan situs internet, misalnya, wartawan kriminal bisa mencari data seberapa banyak kejahatan itu dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Saat kasus ini masuk ke pengadilan, di sinilah jurnalisme hukum diterapkan. Wartawan hukum meliput kasus ini di pengadilan, memberitakan jalannya persidangan, mewawancarai hakim, jaksa, dan -tentu saja- pelaku, serta membahas apa isi dakwaan jaksa dan berdasar undang-undang apa jaksa menjerat hacker tersebut.
Jurnalisme hukum memang akrab dengan pengadilan, hakim, jaksa, pengacara, ruang sidang komisi hukum DPR, juga kamar-kamar penjara. Jurnalisme hukum tidak saja memberitakan kasus korupsi yang dilakukan para petinggi sebuah departemen atau anggota parlemen, tapi juga memberitakan dan mengungkap praktek-praktek kelam yang terjadi di dalam penjara.
Jurnalisme hukum tidak hanya membahas sebuah rancangan undang-undang yang sedang diperdebatkan di parlemen, tapi juga memberitakan sulitnya seorang warga keturunan Cina mendapatkan kartu tanda penduduk kendati, misalnya, Pemerintah telah mensahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang menyatakan tak ada lagi perbedaan pribumi dan nonpribumi untuk memperoleh KTP. Jurnalime hukum tidak sekadar mengetengahkan isi sebuah pasal dari sebuah rancangan undang-undang yang sedang diperdebatkan, juga menjelaskan kepada masyarakat secara lengkap apa arti dan akibat dari pasal itu bagi masyarakat jika kelak undang-undang tersebut diberlakukan.
Memang jurnalisme hukum mencakup bidang yang luas. Karena itulah wartawan hukum –mereka yang menerapkan jurnalisme hukum ini- dituntut untuk terus belajar. Untuk terus mengikuti beragam isu hukum yang terjadi. Ia harus tergerak terus untuk ingin tahu apa yang sedang terjadi dan akan terjadi pada kasus yang ditulisnya. Ia terus menerus bergerak mencari informasi dan tidak pernah puas hanya menerima informasi dari seorang jaksa, polisi, atau pengacara. Ia selalu dalam posisi kritis untuk menerima keterangan dari siapa pun -dengan tujuan- mengungkap kebenaran.
Jurnalisme hukum memang tidak ditujukan untuk menyatakan seseorang salah atau benar. Menyatakan seorang jahat atau baik. Menyatakan seseorang ”hitam” atau ”putih.” Itu tugas pengadilan. Dan jika pun orang itu bersalah dan wartawan hukum memberitakannya, status bersalah itu merupakan kutipan dari pernyataan majelis hakim yang memvonis orang tersebut.
Wartawan hukum, dengan menggali sebanyak informasi dan keterangan sumber-sumber yang dipercaya, dokumen-dokumen yang bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya, hanya memiliki tugas menyodorkan fakta. Mengetengahkan pendapat dan argumen mereka yang terlibat dalam kasus yang diberitakan, dan membiarkan pembaca yang menyimpulkan. Ia berperan sebagai clearing house of information.
Jurnalisme hukum juga menuntut wartawan hukum memahami bagaimama mekanisme sebuah rancangan undang-undang dibuat, bagaimana hierarki dan jabatan-jabatan di Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, bagaimana tatacara keputusan yang diambil anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menetapkan sebuah perusahaan melakukan monopoli usaha atau tidak hingga hal-hal yang terlihat sepele: bagaimanana prosedur mendaftarkan gugatan dil pengadilan, hingga tatacara meliputi sidang di pengadilan negeri atau pengadilan agama.
Dengan demikian, pada akhirnya jurnalisme hukum memang menuntut wartawan hukum mengerti dan memahami istilah-istilah hukum. Menuntut wartawan hukum membaca dan memahami setiap undang-undang yang mempunyai hubungan dengan berita atau persoalan hukum yang ditulisnya, serta menuntut wartawan hukum untuk panjang akal: memiliki ide dan cara mendapatkan informasi dan menemui narasumber, sekali pun narasumber tersebut berada di balik jeruji penjara. (CATATANBASKORO) (Dikutip dari Bab I, buku Jurnalisme Hukum, Jurnalisme Tanpa Menghakimi, sebuah buku tentang bagaimana menjadi wartawan hukum -L.R Baskoro, terbitan Jurnalis Indonesia, 2010)
Posting Komentar